Jumat, 30 April 2010

kewajiban orang tua terhadap anak

Semua agama menempatkan kedudukan orangtua pada tempat terhormat. Hal ini sungguh pada tempatnya, karena tiada seorang pun yang nuraninya bisa mengingkari pengorbanan dan jasa tanpa batas dari orangtua mereka. Selama sembilan bulan ibu menjaga dan memberikan darahnya sendiri demi putra yang dikandung. Pada saat melahirkan betapa seorang ibu amat menderita. Ia tidak mempedulikan hidupnya sendiri. Harapan satu-satunya hanyalah: "Semoga anakku lahir dengan selamat".Bagi ibu dan ayah lahirnya seorang putra —lebih-lebih putra pertama— adalah kebahagiaan yang luar biasa. Tetapi, kebahagiaan itu sesungguhnya adalah awal suatu pengorbanan dan kebajikan tanpa batas yang merupakan kewajiban orangtua demi masa depan putra tercinta. Sulit digambarkan perjuangan orangtua dalam membesarkan dan mendidik anak-anak mereka. Anak adalah bagian hidup orangtua. Kalau anak sakit, orangtua akan sangat menderita. Sebaliknya, bila anak mereka sehat dan bahagia, orangtua pun turut bahagia. Anak-anak adalah harta yang tidak ternilai harganya. Mereka pembawa kebahagiaan tetapi juga penyebab kesulitan orangtua.Sesuatu yang tidak mungkin meleset adalah: Cinta orangtua pasti lebih besar bila dibandingkan dengan cinta anak-anak kepada orangtua mereka. Orangtua yang baik selalu berusaha memberikan yang paling baik kepada anak-anaknya.

Kewajiban Orangtua.
Kewajiban setiap orangtua adalah berusaha mengembangkan kesejahteraan anak-anaknya secara utuh. Meskipun kadang-kadang ada saja anak-anak tidak berbakti, yang melupakan pengorbanan orangtua mereka, selalu menuntut, dan bahkan melawan dengan kekerasan kepadanya; orangtua yang bijaksana harus tetap menjadi orangtua penyayang pemaaf, penuh kemurahan hati, selalu berpikiran bijak; serta selalu bersedia melakukan kewajiban-kewajiban mereka secara ikhlas. Kewajiban orangtua tidak akan berhenti sekalipun anak mereka telah berkeluarga —meskipun sudah tentu.
kewajiban mereka tidak lagi sama seperti pada waktu anak mereka belum berkeluarga.Cita-cita yang pasti terkandung dalam setiap nurani orangtua adalah: mengusahakan —sejak anaknya masih dalam kandungan sekalipun— agar anaknya menjadi orang berguna dan terhormat. Dan lebih lagi, sebelum menutup mata nanti, ia ingin menyaksikan anak-anaknya hidup maju, damai, bahagia, serta melebihi —atau paling tidak sama dengan— dirinya.

Keteladanan.
Kewajiban orangtua dalam mendidik dan membimbing anak-anaknya menuntut suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, yaitu: contoh teladan. Sungguh tepat ungkapan: "Lebih baik satu kali contoh daripada lima kali nasihat". Selain faktor akibat karma dari kehidupan yang lalu, dan pengaruh-pengaruh lainnya; sikap orangtua akan memberi pengaruh yang cukup besar pada pribadi anak.Orangtua tidak bisa cuci-tangan atas kenakalan, kemerosotan, dan kehancuran moral anaknya. Selain diri sang anak sendiri, orangtua adalah orang yang paling ikut bertanggung jawab atas kepribadian anak.Untuk menunaikan kewajiban dengan sesempurna mungkin atas anak-anak —permata hidupnya dan penerus generasi— setiap orangtua harus mengerti dengan jelas —tanpa keraguan sedikit pun tentang tugas yang harus dipenuhi. Berjuang keras memberikan suri-teladan yang baik, dan berusaha mati-matian tidak memberikan contoh-contoh jelek dalam kehidupannya sehari-hari.
Dharma telah menjelaskan kewajiban orangtua ini dengan sangat rinci. Terdapat lima kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap orangtua bagi anak-anaknya:
1. Berusaha menghindarkan anak-anak dari kejahatan.
2.Mendorong anak-anak untuk berbuat baik.
3.Memberikan pendidikan yang layak.
4.Membantu mencarikan pasangan yang sesuai.
5.Menyerahkan warisan pada saat yang tepat.

1. Berusaha menghindarkan anak-anak dari kejahatan.
Sejak anak-anak belum bisa menyebutkan urutan satu sampai sepuluh dengan benar, mereka sudah harus belajar tentang kehidupan. Orangtua adalah guru pertama bagi mereka. Orangtua —bukan orang lain— mempunyai kewajiban untuk pertama kali mendidik anak-anaknya sendiri tentang moral. Mendidik supaya anak-anak malu dan takut berbuat jahat.Bagi setiap orang, rumah adalah sekolah yang pertama. Disadari atau tidak disadari, segala tingkah laku orangtua —sebagai guru pertama— akan menjadi pelajaran dasar yang sangat mudah diserap oleh kepekaan anak-anak. Tingkah laku orangtua yang diserap anak itu ikut membentuk dasar kepribadian anak —yang mewarnai tingkah laku anak hingga kelak kemudian. Oleh karena itu sungguh tidak bijaksana ibu atau ayah yang mengajarkan kepada anak-anaknya secara langsung ataupun secara tidak langsung contoh-contoh perbuatan tercela seperti: ketakutan, kata-kata kasar, berbohong, menipu, membenci, balas dendam, dan semacamnya.Orangtua yang ingin dipatuhi oleh anak-anaknya harus membangun kewibawaannya sendiri dengan cara menunjukkan contoh teladan perbuatan-perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari, dan menghindari semua perbuatan yang tercela. Orangtua yang sering membohongi anak akan mendapatkan hal yang sama dari anaknya sendiri. Dan kalau anak sudah mulai berani membohongi atau menyembunyikan sesuatu terhadap guru pertamanya, maka untuk seterusnya orangtua akan sulit memberikan bimbingan yang baik. Orangtua kehilangan fungsi kontrol terhadap anak-anaknya. Sikap saling membohongi adalah awal dari ketidak-jujuran. Ketidak-jujuran menjadi penghalang utama bagi kehidupan keluarga yang terbuka. Kalau antara orangtua dan anak tidak ada lagi keterbukaan —tidak saling mempercayai, maka keharmonisan yang menjadi idaman hanya tinggal impian. Akhirnya keakuan tumbuh menggantikan suasana cinta kasih dan kasih sayang. Hubungan harmoni kekeluargaan berubah menjadi hubungan formal.Dari segi yang lain, orangtua bijaksana harus mengerti semua keadaan anaknya oleh karena mereka pun pernah mengalami masa sebagai anak. Orangtua akan menjadi tidak bijaksana lagi dan menyebabkan timbulnya sikap tertutup bagi sang anak bila terlalu berusaha mempertahankan sikap sabar, simpati, serta tetap murah hati atas kesalahan anak-anaknya. Sikap ini adalah kunci untuk memasuki nurani anak yang paling halus dan kemudian memberikan bimbingan yang benar kepada mereka. Inilah wujud nyata sikap cinta kasih orangtua yang —seharusnya— tanpa batas kepada anak-anaknya. Dan seperti yang sering saya sampaikan dalam berbagai
kesempatan, kunci utama mewujudkan sikap cinta kasih ini adalah: pengendalian diri. Orangtua tidak dibenarkan bersikap emosional atau serampangan. Mereka harus berusaha tetap sabar dan kuat mengendalikan diri meskipun menghadapi anak mereka sendiri.


2. Mendorong anak-anak untuk berbuat baik.
Orangtua yang tidak bertanggung jawab rela menyerahkan anak-anaknya meskipun baru berumur beberapa bulan —kepada pembantu atau pengasuh. Akibat dari tindakan ini anak-anak menjadi lebih dekat dengan pembantu ketimbang dengan ibu atau ayahnya sendiri.Sifat-sifat baik yang dididikkan sejak kecil laksana benih ditanam di ladang yang baru dibuka. Di antara sekian banyak benih pasti ada yang tumbuh menjadi pohon subur yang sarat dengan buah.Orangtua tahu dengan pasti sifat-sifat baik apakah yang harus ditumbuhkan dalam diri anak. Beberapa yang paling penting akan saya sebutkan di sini; kasih sayang atau suka menolong, rukun, setia kawan, tanggung jawab, rajin, kreatif, jujur, bakti, taat pada agama, tegas, hemat, berani, dan percaya diri.

3. Memberikan pendidikan yang layak.
Setiap orangtua wajib mengusahakan agar anak-anaknya terlatih dalam ilmu pengetahuan dan keterampilan supaya kelak dapat bekerja sendiri. Membekali anak dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan adalah jauh lebihberharga ketimbang membiarkan anak bodoh tetapi memberikan harta cukup banyak. Orangtua harus sadar betapa beratnya hidup tanpa bekal pendidikan.Sungguh tepat ungkapan yang mengatakan: "Orangtua adalah guru di rumah, sedangkan guru adalah orangtua di sekolah". Memang orangtua tidak mampu mengajar sendiri berbagai ilmu pengetahuan. Anak-anak harus menuntut ilmu di sekolah sampai semaksimal mungkin. tetapi, orangtua mempunyai kewajiban moral untuk menjelaskan kepada anak-anak tentang manfaat yang sangat besar dari ilmu pengetahuan bagi kehidupan mereka. Kalau anak-anak mengerti dengan jelas tentang manfaat ilmu pengetahuan ini, mereka akan bersemangat dalam mencari dan menimba ilmu. Kalau anak sampai malas belajar, kemudian menjadi bandel dan malas ke sekolah; guru di rumah —yaitu orangtua— tidak bisa terlepas dari kesalahan.Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan agama. Orangtua harus memberikan agama yang diyakininya kepada anak-anaknya. Si anak kecil yang belum mampu berpikir tidak mungkin bisa dilepas untuk memilih agamanya sendiri. Orangtua harus mengajak dan sekaligus memberi contoh mengikuti ajaran-ajaran agama dengan tekun. Jangan membiarkan anak-anak mengaku beragama tetapi tidak mengerti apa yang harus dipatuhi. Sesungguhnya agama akan memberikan landasan moral yang cukup kokoh bagi setiap anak.

4. Membantu mencarikan pasangan yang sesuai.
Orangtua wajib membantu dengan hati-hati dan penuh kebijakan agar
anak-anak mereka mendapatkan pasangan yang baik. Perkawinan adalah suatu kesepakatan untuk hidup bersama seumur hidup yang tidak dapat dipisahkan secara mudah. Oleh karena itu orangtua wajib memberi petunjuk-petunjuk agar perkawinan membawa kebahagiaan bagi putra-putrinya.Setelah seorang anak hidup berkeluarga, ini berarti ia telah penuh menjadi warga masyarakat. Ia telah dewasa penuh dan harus mampu hidup mandiri.Ia tidak boleh lagi mempunyai pikiran menggantungkan diri pada orangtua, karena akhirnya orangtua pun akan pergi meninggalkan anak-anak untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, sekarang tiba waktunya bagi orangtua untuk tidak ikut campur tangan lagi mengatur segala sesuatu dalam keluarga sang anak. Tindakan orangtua yang selalu mencampuri urusan rumah tangga anak adalah tindakan yang dianggapnya cinta kasih, tetapi sesungguhnya —tindakan seperti itu— menganggap anaknya masih belum dewasa. Orang tua harus menjaga keseimbangan batin —sifat luhur yang keempat, mendorong dan mengakui bahwa kini anaknya sudah dewasa— harus bisa mandiri. Mendorong anaknya untuk menyelesaikan sendiri persoalan-persoalan yang muncul. Orangtua membantu dengan mengawasi dari belakang:
Tut wuri handayani.
Tidak jarang pertengkaran, bahkan perceraian terjadi karena orangtua —baik dari pihak istri maupun suami— terlalu banyak campur tangan dalam rumah tangga anak. Cinta kasih yang tidak pada tempatnya akan berubah menjadi racun penghancur.

5.Menyerahkan warisan padasaat yang tepat.
Kewajiban menyerahkan warisan ini diletakkan di tempat terakhir. Ini menunjukkan bahwa warisan bukan sesuatu yang paling penting bagi seorang anak. Warisan yang paling berharga adalah ilmu pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan harta warisan yang diterima oleh anak yang tidak bermoral malah akan bisa menghancurkannya. Tetapi sudah merupakan kewajiban moral bagi setiap orangtua untuk dengan bijaksana menyerahkan miliknya —yang telah dikumpulkan dengan kerja keras— pada saat yang dipandang tepat kepada anak-anaknya sendiri.

Berkah Orangtua Dan Anak.
Benar-benar suatu kehidupan yang membawa berkah termulia bila setiap orangtua merawat, mendidik, dan menjaga anak-anaknya dengan tidak lengah. Demikian juga sebaliknya, suatu berkah termulia bagi setiap anak yang menghargai, merawat, dan membantu —dengan penuh rasa cinta— ibu serta ayah mereka masing-masing.
Sumber:
http://www.scribd.com/doc/6979556/Peranan-Orangtua-Dalam-Pendidikan-Moral-Anak 2:48am 1 mei 2010



Pola Bimbingan Orang Tua Pada Anak Selain bimbingan disekolah, bimbingan dirumah sangat penting, karena anak lebih banyak menghabiskan waktunya dilingkungan keluarga. Untuk itu keluarga dituntut untuk dapat menerapkan pendidikan keimanan guna sebagai pegangan anak di masa depan.
Menurut Shochib (2000 : 25-28), menyebutkan ada delapan yang perlu dilakukan orang tua dalam membimbing anaknya;
pertama, perilaku yang patut dicontoh. Artinya, setiap perilakunya tidak sekedar bersifat mekanik, tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniruan dan identifikasi bagi anak-anaknya. Oleh karena itu pengaktualisasiannya harus senantiasa dirujukan pada ketaatan pada nilai-nilai moral.
Kedua, kesadaran diri ini juga harus ditularkan pada anak-anaknya dengan mendorong mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun nonverbal tentang prilaku yang taat moral. Karena dengan komunikasi yang dialogis akan menjembatani kesenjangan dan tujuan diantara dirinya dan anak-anaknya.
Ketiga, komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalan, berkenaan dengan nilai-nilai moral. Dengan perkataan lain orang tua telah mampu melakukan kontrol terhadap perilaku-perilaku anak-anaknya agar tetap memiliki dan meningkatkan nilai-nilai moral sebagai dasar berperilaku.
Keempat, upaya selanjutnya untuk menyuburkan ketaatan anak-anak terhadap nilai-nilai moral data diaktualisasikan dalam menata lingkungan fisik yang disebut momen fisik. Hal ini data mendukung terciptanya iklim yang mengundang anak berdialog terhadap nilai-nilai moral yang dikemasnya. Misalnya adanya hiasan dinding, mushola, lemari atau rak-rak buku yang berisi buku agama yang mencerminkan nafas agama; ruangan yang bersih, teratur, dan barang-barang yang tertata rapi mencerminkan nafas keteraturan dan kebersihan; pengaturan tempat belajar dan suasana yang sunyi mencerminkan nafas kenyamanan dan ketenangan anak dalam melakukan belajar, pemilihan tempat tinggal dapat berisonansi untuk mengaktifkan, menggumulkan, dan menggulatkan anak-anak dengan nilai-nilai moral.
Kelima, penataan lingkungan fisik yang melibatkan anak-anak dan berangkat dari dunianya akan menjadikan anak semakin kokoh dalam kepemilikan terhadap nilai-nilai moral dan semakin terundang untuk meningkatkannya. Hal tersebut akan terjadi jika orang tua dapat mengupayakan anak-anak untuk semakin dekat, akrab, dan intim dengan nilai-nilai moral.
Keenam, penataan lingkungan sosial dapat menghadirkan situasi kebersamaan antara anak-anak dengan orang tua. Situasi kebersamaan merupakan sarat utama bagi terciptanya penghayatan dan pertemuan makna antara orang tua dan anak-anak. Pertemuan makna ini merupakan kulminasi dari penataan lingkungan sosial yang berindikasikan penataan lingkungan pendidikan.
Ketujuh, penataan lingkungan pendidikan akan semakin bermakna bagi anak jika mampu menghadirkan iklim yang menggelitik dan mendorong kejiwaannya untuk mempelajari nilai-nilai moral.
Kedelapan, penataan suasana psikologis semakin kokoh jika nilai-nilai moral secara transparan dijabarkan dan diterjemahkan menjadi tatanan sosial dan budaya dalam kehidupan keluarga. Inilah yang dinamakan penataan sosiobudaya dalam keluarga.
Dari kedelapan pola pembinaan terhadap anak di atas sangat diperlukan sebagai panduan dalam membuat perubahan dan pertumbuhan anak, memelihara harga diri anak, dan dalam menjaga hubungan erat antara orang tua dengan anak.
http://artikelpopuler.com/content/peran-dan-fungsi-orang-tua-dalam-keluarga-terhadap-anak 2:56am 1 mei 2010

Siapa yang lebih bertanggung jawab atas pendidikan anak, gurukah atau orang tua?

Siapa yang lebih bertanggung jawab atas pendidikan anak, gurukah atau orang tua? Jawabannya tentu saja tergantung pada titik pandang setiap orang yang mencoba untuk menjawabnya.
Pada umumnya tanggung jawab mendidik anak diawali oleh kepedulian dan rasa tanggung jawab orang tua.
Perhatikanlah bagaimana sibuknya sepasang orang tua yang baru punya bayi dan anak Balita dalam mencukupi kebutuhan dan mendidik buah hatinya.
Mereka tampak begitu gembira dan menuturkan kepada siapa saja yang mau mendengar tentang perkembangan dan kemajuan yang telah diraih buah hatinya itu.
Begitu anak dikirim ke Taman Kanak-kanak untuk belajar bersosial maka sebagian orang tua cenderung menyerahkan urusan mendidik anak pada sang guru. Namun sebagian masih tetap memantau, mendorong dan mengikuti perkembangan mereka sampai pendidikan Sekolah Dasar selesai.
Dalam pengalaman ditemukan bahwa banyak orang tua yang jarang mengayomi anak belajar seperti saat mereka masih kanak-kanak, begitu mereka duduk di bangku SMP dan tingkat SMA.
Sering kita dengan keluhan orang tua tentang prestasi anak mereka anjlok yang setelah berada di SMP. Atau mereka kaget dengan watak anak yang dulu begitu terpuji tetapi jadi memusingkan saat duduk di bangku SLTA.
Kalau ini terjadi tentu ada pihak tertentu yang dapat untuk disalahkan. Setiap murid atau anak didik memiliki tiga aspek kehidupan, yaitu kognitif (otak), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan).
Ada kecenderungan masyarakat untuk melemparkan kesalahan pada guru “gagal dalam mengajar” bila prestasi kognitif dan psikomotorik anak di sekolah dinilai rendah, dan melemparkan kesalahan kepada orang tua atau lingkungan bila menjumpai anak tidak punya sikap dan akhlak yang baik.
Pada umumnya, bila anak mulai memasuki jenjang pendidikan formal maka orang tua menyerahkan urusan pendidikan anak kepada guru-guru di sekolah. Kepedulian nyata orang tua yang sering tampak adalah dalam bentuk pemenuhan kebutuhan anak yaitu dalam bentuk sandang, pangan dan papan.
Selanjutnya mereka menghabiskan waktu untuk mencari nafkah dan untuk menekuni hobi dan hampir tidak punya waktu untuk menemani dan mengikuti perkembangan anak dalam belajar.
Banyak orang tua yang memiliki waktu lowong namun jarang yang memanfaatkannya untuk mendidik anak.
Penyebabnya adalah mereka sendiri tidak memiliki konsep bagaimana cara mendidik keluarga. Konsep mendidik anak bagi keluarga awam adalah menyerahkan anak ke mesjid (atau institusi-institusi agama) dan ke sekolah, kemudian menghujani mereka dengan nasehat-nasehat, anjuran dan perintah atau kemudian memarahi anak kalau melanggar. Sebuah konsep pendidikan yang terlihat terlalu sederhana bukan? Dan ternyata hasilnya juga mengecewakan.
Dari pengalaman bahwa umumnya hampir setiap anak (terutama remaja) tidak terlalu memerlukan nasehat, apalagi nasehat yang diberikan secara bertubi-tubi dan nada mendikte.
Anak akan mencap orang tua yang begini sebagai orang tua yang sangat cerewet. Sebenarnya yang diperlukan anak dari orang tua adalah contoh teladan (contoh langsung) serta penyediaan sarana belajar dan kasih sayang.
Sedangkan memberikan nasehat apalagi nasehat dengan nada yang penuh emosi akan membuat anak menutup pintu hatinya dan bahkan juga menjauhi orang tuanya.
Demikian pula di sekolah, anak didik cenderung untuk membuat jarak dengan guru-guru yang pemarah.
Selama anak berada dalam usia belajar di sekolah formal, masyarakat (orang tua) cenderung menempatkan beban pendidikan ke atas pundak guru.
Di sekolah, anak diperkenalkan dengan sejuta aturan, mulai dari bagaimana hidup yang disiplin sampai kepada bagaimana mencapai keberhasilan hidup kelak. Di sekolah anak diajar untuk mengembangkan potensi diri, diajarkan sejumlah konsep dasar tentang kehidupan dan dibekali dengan tugas rumah (PR) sebelum pulang.
Namun di rumah, kecuali bagi segelintir keluarga, anak dibiarkan hidup tanpa aturan, tidak diajar mandiri, terlalu didikte, dan terlalu banyak dibantu sehingga konsep belajar di sekolah akan menjadi kontradiksi dengan konsep belajar di rumah dengan porsi belajar yang terlalu sedikit dibandingkan dengan porsi hiburan dan bersantai. Kita tahu bahwa kualitas pendidikan anak didik di sekolah yang pada umumnya cenderung turun atau selalu jalan di tempat. Walau banyak sekolah yang mengklaim bahwa telah terjadi peningkatan kualitas anak didik di sekolahnya. Secara umum itu hanyalah sebatas angka-angka hasil rekayasa dan manipulasi data.
Untuk fakta yang jelas, silahkan terjun ke lapangan untuk mengobservasi kualitas murid-murid pada setiap sekolah. Maka mayoritas terlihat murid yang minat belajarnya begitu rendah dalam suasana belajar penampilan mereka terlihat lesu dan santai ibarat orang kurang darah.
Melihat kondisi anak didik yang lesu karena fikiran mereka kurang terkondisi sejak dari rumah maka ini akan membuat guru kehilangan strategi dalam memotivasi mereka. Umumnya metode yang disodorkan guru agar anak didik bergiat adalah dengan cara marah-marah dan menakut-nakuti atas ketidakacuhan mereka selama belajar maka hasilnya adalah nihil.
Sebenarnya bila anak telah memasuki jenjang pendidikan formal, mulai dari tingkat SD sampai ke tingkat SLTA, maka tanggung jawab mendidik menjadi tanggung jawab bersama antar guru dan orang tua.
Keberadaan orang tua dan guru dalam urusan mendidik adalah ibarat dua sisi mata uang. Hasil pendidikan tidak akan pernah sempurna kalau diserahkan saja kepada guru atau kepada orang tua yang notabenenya bukan sebagai pendidik.
Selama ini terlihat kecenderungan bahwa sekolah sendirianlah yang memikul beban pendidikan. Sejumlah pelatihan, penataran, seminar, lokakarya dan program penyegaran lain telah diberikan pada guru-guru dengan harapan agar pendidikan lebih berkualitas. Selama mengikuti kegiatan ini, guru memperoleh pembekalan tentang bagaimana pendidikan dan pengajaran yang ideal.
Dengan harapan agar pasca pelatihan mereka akan mampu membuat berbagai terobosan dan inovasi baru. Namun dalam kenyataan hasilnya tetap belum menggembirakan, malah cenderung tampak bahwa pasca pelatihan guru selalu menerapkan teknik dan metode mengajar seperti semula.
Kini terlihat bahwa untuk mendongkrak mutu pendidikan bangsa, sekolah bergerak sendirian tanpa melibatkan orang tua secara tegas dan memberikan isyarat tentang apa dan bagaimana seharusnya orang tua terhadap anak di rumah. Padahal untuk ini pemerintah telah menghabiskan dana jutaan dolar dan guru menghabiskan waktu serta tenaga untuk mengikuti berbagai pelatihan dan penataran hanya demi perubahan kecil saja dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Sekarang kita patut bertanya bahwa adakah ahli pendidikan yang memikirkan untuk memberikan pelatihan terhadap orang tua murid seperti memberi pelatihan kepada guru-guru atau adakah pihak sekolah secara kontinyu melowongkan waktu untuk berbagi pengalaman hati ke hati secara rileks tentang pendidikan dalam bentuk komunikasi dua arah dan tanpa menggurui orang tua?
Kepedulian orang tua dalam mendidik anak yang belajar di Sekolah Dasar apalagi pada tingkat SMP dan SLTA, seperti kepedulian mereka mendidik anak saat masih di Taman Kanak-kanak, mencukupi kebutuhan makanan, hiburan, mengembangkan sosial dan emosional, sampai dengan penyediaan sarana hiburan dan pendidikan adalah mutlak diperlukan. Dalam kenyataannya kepedulian orang tua nyaris berkurang. Pada hal saat anak menginjak remaja dan mengalami krisis jati diri mereka sangat memerlukan orang tua sebagai teman pendamping untuk berbagi pengalaman dan kegelisahan.
Memang tidak mudah untuk mengikuti perkembangan dan pendidikan anak sampai tingkat remaja. Namun kalau orang tua selalu mau belajar dan menjadikan belajar sebagai kebutuhan dalam hidup maka tidak akan ada hal-hal yang terlalu sulit untuk diatasi. Dalam zaman informasi ini yang mana pengetahuan serba mudah untuk diperoleh, maka setiap orang akan dapat mencari solusi dari buku, bacaan lain, dan dari internet serta paling kurang dari teman dalam bentuk saling berbagi pengalaman.
Kita perlu mengritik orang tua yang terlalu menomorsatukan karir dan pekerjaan tetapi sangat mengabaikan pendidikan anak sendiri. Dalam hidup ini cukup banyak kita temui orang-orang yang mantap dalam pekerjaan dan sangat trampil dalam mendidik dan membina orang lain tetapi gagal dalam membina anak-anak sendiri, apalagi kalau sampai drop-out dari sekolah. Kita pantas mengacungkan jempol kepada sang ayah dan ibu walau hanya pendidikan formal biasa-biasa saja tetapi punya wawasan dan konsep dalam mendidik keluarga, telah mampu berpartisipasi dalam menyukseskan pendidikan anak-anak di sekolah.
Dalam mendidik keluarga dan ikut menyukseskan pendidikan anak di sekolah, setiap orang tua perlu mengorbankan waktu, tenaga dan uangnya. Meluangkan waktu untuk membuat kebersamaan dengan anak adalah sangat penting. Adalah sangat tidak berguna meluangkan waktu sampai berjam-jam tetapi kebersamaan dengan anak penuh dengan pengalaman kemarahan dan beda pendapat. Anak memerlukan kebersamaan yang menyenangkan dan bermutu dan teratur tiap hari. Untuk itu setiap orang tua perlu untuk menata waktu dan keluarga kembali sebelum hal-hal yang tak diingini terjadi. Semoga menjadi renungan bagi setiap orang tua.